“Walaupun gak
lahir dengan nama Bejo. Dan walaupun aku jarang bejo. Tapi aku bejo bisa
mendapatkanmu”
Rumitable
tapi dapet yang istriable
2 tahun
mengelilingi daun waru alias cinta, tapi hingga detik ini aku belum bisa
ngerasa terbiasa sama sepetnya 5 huruf itu. Sebenernya apa sih masalahnya?
Nggak se ruwet kisah Romeo dan Juliet yang nggak bisa menyatu, nggak se nyesek
cerita-cerita @Dwitasaridwita yang sering nyampah di twitter tentang cinta beda
agama, nggak se menyedihkan Titanic yang harus kehilangan pasangannya. So,
masalahnya apa? Simple kok. Jarak. Eits, bukan LDR (Long distance relationship) loh.
Aku, Haris 16 tahun sama Milah itu NDR (Near distance relationship). Jarak
antara aku sama Milah Cuma sekitar 100 m, karena kita 1 sekolah. Aku sama Milah
sekolah di sekolah islam nginep, bahasa kerennya Pondok. Yah, namanya juga
kehidupan di pondok, cewek sama cowok diberi sekat gede banget di luar jam
sekolah. Nggak bisa ketemu Milah, nggak bisa lihat tahi lalat seksinya di hmmmm
hidung kalau nggak salah. Maklum agak lupa, 2 tahun baru ketemu sekali aja.
Aneh kan? Aku juga gak habis pikir kok bisa kayak gitu.
Padahal dulu aku sama Milah se SMP.
Mau ketemu banyak banget problemnya. Aku sama Milah nggak sekelas, jadi sebagai
cowok sejati (halah) aku yang datang ke kelas Milah buat puas-puasin lihat tahi
lalatnya itu. Sayangnya harapan sama kenyataan berbanding terbalik. Problem banyak banget menghampiri
jalanku menuju tahi lalat Milah (eh). Mulai dari setiap on the way menuju kelas Milah, harus nglewati geng anak kelas 9.
Dikerjain? Dibully? Sering dan selalu
memalukan. Pernah dilorotin celana biru putih, sampe segitiga biru kelihatan
(bukan merk tepung), terus muka ku yang kata temen-temen itu unyu malah sama
geng bandit itu dikatain kalau wajahku ala boyband,
makanya disuruh pake bando lah, kuncrit 3 lah. Bukannya ngapelin Milah malah
didandanin abis abisan jadinya kan ngalahin cute-nya Milah. Tapi ya, jangan
dikira aku itu cowok cemen yang mudah nyerah. NGGAK! Cintrong ku ke Milah udah
mentok banget, jadi ya aku berkorban ke
Milah dengan cara apel tapi lewat belakang. Nglewati taman kelas. Tapi sial ku
nggak ada tombol pause’nya. Lewat
belakang malah nggak sengaja nginjek plus ngrusak tanaman rafflesia yang langka
dan susah banget dikembangbiakin. Nggak jadi masuk ke hatinya Milah (eaa) malah
masuk BK dan dapet score minus.
Pulang sekolah? Iya aku udah usahain
guys buat ketemu Milah. Entah kenapa walaupun dari kelas ke parkiran udah
bareng sebareng-barengnya, tapi tetep gak bisa ketemu. Pernah sekali ketemu,
ngobrol lamaa banget sampe maghrib. Tapi apesnya lagi, ternyata bukan Milah
yang aku ajak ngobrol, tapi guardian
angel nya sekolah ini (setan maksudnya), aku kabur dan kebayang-bayang sama
peristiwa itu. Di rumah aku juga udah usaha buat ketemu Milah, hujan pun aku
tempuh sampe semua basah termasuk itu juga, terus berteduh di sawah tapi malah
dikira mau nyolong jagung (emang muka gue muka maling?). Dan masih banyak
halangan lain yang bikin aku setengah nyerah.
Sampa
akhirnyaa… Tuhan berbaik hati denganku sama Milah yang setiap hari cuma bisa
kontak lewat pesan handphone, itupun
kadang nggak punya pulsa karena ekonomi seret. Jadi hari terindah buat aku sama
Milah itu, hari Rabu, 16 Oktober 2011 (masih inget soalnya langsung dijadiin
peringatan di handphone) suasana lagi gerimis. Diajar Pak Narto di kelas
bawaanya pengen buang air mulu. Karena nggak nahan, aku pun keluar kelas buat
menuju ke kamar mandi.
“Pak, ijin ke
KM ya. Kebelet,” ucapku dengan terburu-buru.
“Iya, jangan
lupa cebok yaa,” jawab Pak Narto yang memicu tawa seluruh kelas.
Aku sudah
mengumpat dalam hati. Tapi aku cuek dan setengah berlari menuju ke kamar mandi.
Tapi saat melewati kamar mandi cewek, ada sebuah teriakan minta tolong.
“Tolooong,
aku nggak bisa keluar,” jerit seseorang di dalam kamar mandi.
Kesempatan,
yap modus yang sangat baik. Aku melihat sekeliling, hanya sunyi karena masih
ada KBM. Aku melangkah mendekati suara tersebut.
Seseorang di
dalam toilet itu mendengar ada langkah kaki, segera berteriak lagi agar
seseorang yang datang itu membantu mengeluarkannya dari toilet.
“Tolong hei
siapa yang diluar tolong pliss, disini bengep,” kata seseorang itu lagi.
Nah naluri
cowok ku mulai bekerja. Perlahan aku
membuka pintu kamar mandi cewek yang memang agak slendro itu.
Alangkah
kagetnya, saat aku membuka pintu. Kudapati gadis cantik mengibaskan roknya,
kemudian menatapku.
Aku menikmati
pandangan itu tanpa kedipan. Sampai akhirnya aku mendapati tahi lalat di
samping hidung.
“Milaaaahh,”
seruku penuh kerinduan.
“Ha .. Harr,”
sebelum Milah sempat mengucapkan kata, tanganku sudah mendekap erat tubuh
kekasihku itu. Ahh hangatnya pelukan sama Milah. Kangeen banget rasanya nggak
ketemu sekian tahun. Badannya yang setengah basah mungkin karena kelamaan di kamar
mandi, jadi menambah kesan adem anget di pelukan Milah. Milah juga memelukku
dengan senyumnya yang aduhai itu.
Sampai Negara
api menyerang dan berusaha mengusik aku dan Milah. Tiba-tiba celanaku terasa
basah, lutut mengalir air yang cukup deras.
“Celanamu kok
basah Har?,” tanya Milah heran . Tapi ia masih dalam pelukan arjuna nya alias
aku.
“Hahhh iya
tadi kan habis kehujanan Mil,” kataku sambil berbohong. Padahal aku……
“Tapi tadi
kamu nggak basah celananya?,” Milah mulai curiga. Ah gawat.
“Ya kamu
nggak ngelihat kali tadi,” aku berusaha ngeles. Jangan bikin malu plis
Harisssss…
“Tapii..,”
DUAARRRR!!!
Suara petir
itu bikin Milah kaget, dan refleks memelukku makin erat. Duh nikmatnyaa dipeluk
bidadari bertahi lalat kayak Milah. Romantis kan? Padahal jorok juga. Aku tahu
kalau air hujan itu tadi sebenernya air kencing yang nggak nahan sejak
pelajaran Pak Narto tadi. Tapi ya, daripada harus mengakhiri 10 menit terindah
di hidupku ya mending aku diam aja, dan melanjutkan adegan bak Shireen Sungkar
dan Teuku Wisnu tadi. Dimana-mana orang ketemu pacarnya, pasti wangi, dandan
rapi, ganteng. Eh, aku malah sebaliknya. Ketemu di jam terakhir mau pulang,
wajah udah kusem kayak kemoceng ruang guru, rambut kayak habis kesetrum listrik
200 watt, ditambah air hujan gadungan yang aku rahasiain dari Milah. Jadi kalau
ditanya apa rahasia terbesar kamu dengan pasangan? Jawabannya adalah air hujan
itu sebenernya bukan air hujan tapi air kencing. Ahh, kesanable banget deh.
***
Sekarang udah
beda cerita lagi. Sekarang udah kelas 1 di pondok yang baru aku huni sama Milah
juga (kan setia) selama 1 bulan. Masih butuh penyesuaian dalam kebiasaan, cara
berpikir, cara belajar, aktivitas sehari-hari, terutama cara untuk ketemu Milah
(justru ini poin terpenting). Apalagi sekarang tanggal 11 Januari, 2 hari
sebelum ulang tahun Milah. Aku berdiskusi dengan teman-teman se kamarku, yaitu
Ilham, Hamdan, Damar, dan Mardi tentang kejutan untuk Milah atau minimal cara
untuk bertemu Milah.
“Bikin
kejutan buat Milah apaan ya?,” kataku sambil melepas dan memutar-mutar kopiahku
dengan tangan.
“Halah gaya
pake surprise. Emang bakalan bisa
ketemu sama Milah?,” sahut Damar yang sedang menyetrika sarungnya.
Jleb. Jleb
banget kata-kata temen yang satu itu. Tapi biar jleb dan ngena, bener juga sih
apa yang Damar bilang.
“Iya har, bener
Damar. Siapa tau bejo mu tetep kayak dulu. Dulu kan kamu mesti. Mesti nggak
bejo maksudnya hahaa,” Ilham bukannya memberi saran malah nimbrung meledekku.
Hah teman-teman yang menyebalkan.
“Udah,
mending kamu mikir gimana buat ketemu dia dulu besok, baru selanjutnya kita
nyusun,” Mardi akhirnya ikut menambahi.
“Lhaa konco I
yo koyok mardi ngene lo mar damar, Ham. Ngewehi solusi, ora soyo mbuletisasi
koyok kowe,” gerutuku pakai bahasa jawa tulen.
“Halah iya-iya.
Sewot banget kamu Ris. Haha. Yaudah solat isya dulu ahh,” Damar mencabut
setrika dan segera berdiri akan keluar kamar pondok.
“Marrrrr…….
Ikut!!!!,” Ilham menyusul langkah kaki Damar.
“Diam-diam
homo. Haha,” tawaku bergemuruh.
“Hahaa, udah
aku solat dulu Har,” ucap Mardi hendak menyusul Damar dan Ilham.
Aku masih
duduk di atas tikar, sambil membayangkan nan jauh disana tentang trik supaya
bisa bertemu dengan Milah. Aku harus apa, aku butuh apa, nanti gimana, kalau
gak bisa gimana, kalau ketemu harus
nyiapin apa.. Semua masih berputar-putar di kepalaku bak setelah kejedot tembok
di adegan Tom and Jerry.
“Heh Har kamu
nggak solat? Halangan ya?,” seru Mardi di depan pintu saat akan menuju masjid.
“Iya
halangan. Deres lagi. Deres banget halangan buat bisa ketemu Milaaaaah,” ujarku
sambil mengambil kopiah dan menyusul langkah 3 sahabat segilaku itu.
***
Pagi yang
kriuk kriuk buat ku di hari ini. Bangun agak pagi dengan senyum unyu ku
kupersembahkan hanya untuk Milah tercintrong. Sehabis sarapan nasi dan sambal
tempe, aku dan 3 sahabat segila itu pergi menuntut ilmu di sekolah.
Setelah jam
ke-4 lewat, saatnya istirahat. Aku melangkah keluar untuk menjalankan misiku
menemui Milah di kelasnya, 10 IPA 2. Dengan jambul yang begitu keren (menurutku
sih) aku menuju kelas Milah.
Sialnya, di
kelas Milah sedang ada wali kelasnya yang mengambil waktu istirahat untuk
membahas suatu hal tertentu.
“Berarti
untuk lomba mading, koordinator utamanya tia,………………” suara Bu Wijah terdengar
dariku yang berdiri beberapa meter dari kelas Milah.
“Oalah lomba
mading. Hmm harus cari cara nih,” seruku girang dalam hati.
Selang
beberapa detik kemudian, tanpa kata ‘AHA!’ seperti di film anak-anak yang
sangat khayal, aku mengambil langkah pasti cowok sejati (halah) untuk mengetuk
pintu kelas Milah.
“Assalamualaikum,
Bu Wijah,” sapaku hormat (sok hormat maksudnya) sambil menunduk dan kedua bola
mata mencari tahi lalat Milah (eh).
“Iya
waalaikumsalam, siapa ada apa ya? Nggak lihat saya sedang diskusi dengan kelas
IPA 2?,” tanya Bu Wijah.
Tanya apa bentak? Both.
“Permisi Bu, panjenengan dipanggil
bapak kepala sekolah di ruangannya,” kataku memberanikan diri.
“Ohh, sebentar ya anak-anak ibu ada
urusan penting. Kalian boleh membahas dengan dewan kelas dulu, nanti ibu nyusul
kalau sudah selesai urusannya,” Bu Wijah berlalu dengan didahului senyum tipis.
Sangat tipis. Huh, pelit.
“YESSS!,” aku bersorak dengan gembira
dan sangat bahagia.
Aku melihat ke se isi kelas. Kujumpai
juga bidadariku di pojokan kelas sedang tersenyum padaku.
Aaa milaaaaaah. Rasanya aku ingin
lari, melompat ke bangkunya, dan memeluk tubuhnya. Ah, angetttt.
Tanpa asdfghkjkl~ aku mendekati Milah.
Langkah kakiku bak sesuatu yang berat
dan berharga sekali. Jadi setiap hentakan terasa sangat lama.
Trap. Trap. Trap
Trap.
Trap.
“Aduuuuuuuuhhhh, sakit-sakit,” jeritku
sambil memegang telingaku.
“Heh kamu dasar anak nakal, pembohong.
Kalau generasi muda kayak kamu semua, gimana Negara ini akan maju? Pasti kalau
kamu besar kamu akan ikut-ikutan Gayus. Makan uang negara, nggak ngaku lagi.
Membohongi publik. Membuat ratusan bahkan ribuan masyarakat Indonesia
terlantar. Oh tikus negaraku, cepatlah masuk kandangmu. Kandang besi yang
dingin dan sunyi,”
“Hahhh ini orang cerewetnya sumpahan
deh. Malah pake acara bikin-bikin puisi koruptor lagi. Sial dehh,” umpatku di
dalam hati.
“Sini kamu, saya hukum karena udah
bohongin saya. Tadi saya masih sampe kelas 10 IPA 1, saya lihat mobil Pak
kepsek keluar sekolah. Bohong kamu ya?,” Bu Wijah mencengkeram bajuku bagian
leher.
“Maaafff bu……….,”
“Maaf-maaf, sini dapat hukuman kamu!,”
Bu Wijah membawaku ke ruang guru.
“Haduh program bully macam apa lagi ini. Di smp dibully senior, di pondok dibully
extra senior,” gerutuku.
“Ibuk-ibuk bapak-bapak. Pagi ini kita
dapet office boy gratis yang akan
bersihin ruang guru ini. jadi nanti bapak-ibuk selesai ngajar, ruangan ini akan
bersih dan rapi. Iya kan Paimin?,” seru Bu Wijah di depan guru-guru lainnya.
“Ah ta*****k, nama haris dipanggil
Paimin. Hari apa sih ini. Item banget,”cuma bisa ngebatin aja.
Aku menanggapi respon Bu Wijah dengan
mengangguk.
“Alhamdulillah,”
sorak ibu-ibu guru dan bapak guru dengan lega dan terdengar sangat bahagia.
“Menurut
kalian Alhamdulillah bu, buat saya. Naudzubillah,” batin ini terus ngedumel.
“Yaudah Min,
bersihin ya kantornya. Sampe bersih. Ibuk mau ke IPA 2 lagi. Jangan ulang kalau
kamu nggak mau saya suruh bersihin kamar seluruh asrama suatu hari nanti,” Bu
Wijah berlalu dengan sombongnya.
Tuh, apa aku
bilang. Selalu gagal. Gak pernah ketemu.
“Okelah gak
bisa ketemu sekarang, yang penting besok bisa ketemu Milahku sayang,” kataku
dalam hati dengan senyum.
Jadi hari ini
ku akhiri siangku dengan sapu-sapu dan debu ini. Tanpa tahi lalat Milah lagi.
Ah semakin rindu….
***
Happy
birthday Milah ku sayang..
Abang
kangeeen banget sama Milah. Pengen ketemu Milah terus..
Abang
sayang sama Milah.
Milah semoga di ultah ke 15 makin cantik ya,
makin pinter, makin baik, makin sayang sama abang.
Ini
abang ada jilbab buat Milah.
Dipakek
yaa.. maaf kalo Cuma bisa kasih ini aja. Yang penting kan cinta abang
udah
abang kasihin ke Milah. Jaga ya hati abang yang suci , mulus, dan penuh cinta
buat kamu itu..
I
love you Milah <3
Haris
Atmaja, pacarnya Milah J
“Ah jadi juga
suratku buat Milah. Kado udah, hmmm. Masukin dulu kali ya,”
“Nah sip.
Cantik deh kayak Milah kadonya,” kataku sendiri dengan senyum-senyum
membayangkan Milah memakai kado jilbab paris dariku.
Hari masih
terlalu pagi untuk bangun. Pukul 2 lebih. Setelah solat tahajud beberapa menit
yang lalu (uhuk), aku beranjak ke kamar mandi untuk bersih diri.
Air mandi
yang dingin sekali, cukup membuat badanku gemetar seperti handphone yang vibrate.
Sarung dari emak sudah melingkar di perutku. Aku mendekap diri sendiri agar
tidak kedinginan (jomblo sih, jadinya gak bisa pelukan).
Asyik
berselimut aku pun tertidur lagi…………………….
***
Suara burung
(entah burung apa) membangunkanku dari nyamannya bobok di hari ini. Mataku
berkedip-kedip dengan anggun dan sangat ganteng (halah). Aku beranjak dari
kasur. Teman-temanku itu sudah tidak ada.
“Mungkin mereka mandi. Haaha, aku
sudah terlihat ganteng sekali karena sudah mandi duluan,” kataku sambil
mengibaskan rambut.
Pandanganku tiba-tiba tertuju pada
kado untuk Milah.
“Oiya kadokuuuuu,” seruku riang sambil
memeluk kado yang akan ku serahkan untuk Milah itu. Tanpa sadar aku menjatuhkan
jam weker hasil patungan berempat saat hari pertama di pondok. Karena sama-sama
sadar diri sering datang terlambat.
“Ini jam udah mati aja. Masak jam
segini kok udah jam 10 siang. Begok banget,” ujarku sambil nyengir.
Tapi. Tuk!
“Hah jamnya gerak.
Astaghfirullahaladzim!,” aku sontak berlari menuju jendela. Kulihat matahari
sudah hampir di tengah-tengah.
“Ah ya ampun.. Aku telat masuk
sekolah. Bukan telat lagi nih. Telat banget. Aduh astaghfirullahaladzim. Terus
gimana ini kado buat Milah?,” kataku bingung sambil mondar-mandir.
“Sekarang ya nggak bisa keluar dari
pondok. Pasti pintunya dikunci. Mau njebolin pintu juga pasti kena semprot
lagi. Pak Gogon lagi. Kencing berdiri pasti. Duh Ya Allaahhh,” sesalku dengan
kebodohanku sendiri.
“Oke tenang Haris.. Masih ada nanti
siang waktu habis solat dzuhur buat ngasih kadonya ke Milah. Huuuh, tenang ya
ganteng,” kataku menyabarkan diri sendiri.
***
Adzan dzuhur dikumandangkan, dengan
semangat aku dengan tas kresek putih yang berisi kado untuk Milah ini berangkat
ke masjid. Jarang nih, ke masjid duluan. Biasanya berangkat akhir pulang awal.
Tapi yaa, buat milah apa sih yang nggak (eaa).
Sesampainya di masjid, kado buat Milah
ku senderkan di samping tiang masjid, sebelah kotak amal. Aku berangkat wudhu
dan menunaikan solat dengan khusyuk dan khidmat.
Sekembalinya setelah solat, aku
melipat sajadah pemberian Eyang Parjo (bukan eyang subur). Dan segera menuju ke
tiang masjid.
“Loh, kreseknya? Kreseknya dimana?
Loh? Astaghfirullaaahh!!,” seruku panik saat ku lihat kresek putih untuk Milah
tak ada. Aku coba mengelilingi masjid tapi nihil.
“Kamu tau nggak kresek putih di
samping kotak amal itu?,” tanyaku penuh harap pada seorang siswa kelas 10 juga.
“Kresek putih? Nggak bro,” katanya.
Aku coba tanya ke orang-orang di
sekitar masjid. Tapi hasilnya tetap nihil. Tidak ada yang tahu dimana kresek
putih itu tadi.
Ah sial lagi. Aku ingin mengumpat
sekeras-kerasnya.
“Kenapa gak bisa kasih sekali aja
waktu buat aku nyenengin Milah di hari ultahnya? Kenapa apes mulu!,” aku terus
mengumpat sambil menendangi botol minuman dan terus berjalan menuju kamar
pondok.
***
Pagi kusam itu akhirnya terlalui juga.
Perasaan bersalah dan menyesal rasanya campur aduk. Nyesek, bengep. Kenapa
Allah nggak kasih ijin buat ngebahagiain Milah sekali aja padahal. Kan kasihan
Milah masak di hari ulangtahunnya nggak bisa bahagia.
Tapi gimana lagi? Emang bisa berontak
ke Allah? Yaudah shut up aja. Let it go. Semoga Milah paham. Dan hari
esok bisa lebih baik lagi, lebih mesra dan lebih membahagiakan.
Kado hilang, doa aja kali ya yang bisa
aku kasih. Semoga Milah tersayang makin kece, panjang umur, makin cantik,
segalanya buat Milah pokok.
“Heh Har gawat!,” seruan Ilham dari
jendela membuat lamunan sehabis solat shubuh buyar.
“Apa to Ham? Ngaget-ngagetin orang
galau aja,” timpalku muram.
“Tambah galau kamu Har kalau denger
ini,”
“Apaaaaa,” sahutku malas-malasan.
“Tadi aku lewat pondok cewek, terus
ngga sengaja ketemu Milah,”
“Trus trus? Aku kangen Hammm,”
“Terus Milah bilang dia minta putus
dari kamu. Soalnya dia kecewa sama kamu yang nggak ngasih apapun di hari
spesialnya, kamu juga lama gak ketemu sama dia,” jelas Ilham.
Rasanya dibilang kayak gitu? Mati
rasa.
“Kamu bener?,” tanyaku sangat tak
percaya kenapa Milah tega berbuat itu padaku.
“Iya bro, kali ini aku gak boohong
deh. Milah bilang bakal lupain semuanya. Dia udah cukup capek gak bisa ketemu
kamu, dan kamu gak perjuangin itu. Dia nggak mau ketemu kamu,” Ilham
menjelaskan sambil mengelus pundakku.
Aku meninggalkan Ilham. Aku menuju
masjid. Segera mengambil air wudhu, dan solat dhuha. Dengan tetes air mata aku
menunaikan ibadah sunnah ini. Dekat dengan Tuhan, rasanya nyaman dan lega.
“Ya Allah, beri aku kemudahan di semua
ini. Mudahkan jalanku,”
Doa yang simple. Aku tak ingin menyertakan nama Milah. Karena aku nanti akan
mengingat kenanganku dengan Milah. Sudah, jangan bahas Milah. Aku juga
menderita terus seperti ini. Sampai jumpa Milah. Aku pergi dengan cinta di
hatiku.
***
Pagi-pagi terasa berbeda. Sekarang
sedang libur pondok. Musim hujan setiap hari mengguyur Kabupaten Nganjuk. Kini
para santri hanya tinggal di kamar karena terjebak banjir selutut di luar sana.
Ilham dan Damar sedang keluar membeli mie untuk makan hari ini, dan aku ada di
samping jendela. Ini adalah tempat favoritku untuk melamun semenjak kandasnya
aku dan Milah.
Pandanganku tiba-tiba mengarah ke
gadis memakai kerudung merah. Aku sudah kehilangan nafsu tertawa untuk sekedar
menyanyi lagu Wali ‘Gadis berkerudung merah’. Namun pandanganku ku tajamkan.
“Milah,” desahku pelan. Aku tersenyum
pahit. Gadis itu, 2 tahun menghuni perasaanku walaupun tak pernah bertemu.
Kulihat Milah berjalan ke arah sebuah
jalan. Tapi aku rasa.. aku rasa itu bukan jalan.
Dan, Blup!
Milah terjatuh di jalanan itu. Jalanan
yang ternyata adalah sungai yang terlihat tak ada bedanya dengan jalan lain
karena tertutup banjir.
Kulihat sekeliling tak ada orang.
Sedangkan Milah terus tenggelam. Suaranya yang kecil dan lirih tak akan
terdengar siapapun.
Baiklah, aku akan menolongmu kekasih.
(mantan kekasih).
***
“Makasih ya,” Milah mengangguk pelan
padaku. Aku sekarang berbaring di sampingnya, di posko banjir desa.
“Iya Mil,” jawabku singkat. Aku jadi
tak sealay dan seheboh dulu. Sekarang aku lebih banyak diam.
“Eh mil..,” ucapku lirih sambil
memegang tangannya yang akan pergi meninggalkanku.
“Maaf, aku nggak bisa kasih kado buat
kamu. Aku udah siapin semuanya, udah usaha buat ketemu kamu, tapi…,” aku
menceritakan panjang lebar tentang apa yang terjadi 2 hari lalu.
“Oh, maaf ya Har.. Aku asal ngejudge
dan aku nggak tahu,” sesal Milah.
“Udah nggak papa Milah. Balikan?,”
tanyaku memberanikan diri.
Milah tak menyahut. Kedua tangannya
kini melingkar di perutku. Dia memelukku. Dengan lirih ia menjawab ‘iya’.
Terimakasih Tuhan. Dewi sinta ku telah
kembali…………….
***
5 tahun
kemudian…………
“Jadi Milah hamil Da?,” tanya nenek
pada Ibu Milah.
“Aduh nggak buk. Milah nggak hamil.
Ibuk kata siapa? Naudzubillah,” jawab Ibu Farida, ibu Milah.
“Lha ini tulisan di undangan nya Hamil
kan? Ibu masih bisa baca Da…,” kata Nenek lagi.
Ibu Milah memandangi undangan
pernikahan itu dengan serius. Membelakkan mata. Kemudian tertawa riuh.
“Ibuk.. Maksudnya Milah nggak hamil.
Tapi ini singkatan buk, dari nama Haris sama Milah. HAMIL. Begitu buk. Amit-amit keturunan kita kok ada yang
hamil sebelum nikah,” jawab Bu Farida.
Nenek diam. Mengernyit. Memicingkan
mata. Kemudian baru memahami maksudnya.
“Oalahhh iya nduk,” ucap nenek sambil
tertawa.
Ibu Milah dan Nenek tertawa bersama.
Beberapa saat kemudian, Milah datang dengan senyuman merekah.
“Kenapa nduk senyum-senyum? Habis
ketemu Haris pasti,” canda Ibuk.
“Hehe iya buk, masih besok kan buk
dipingitnya? Berarti tadi ketemu terakhir setelah itu nggak ketemu lagi.
Yaaah,” kata Milah dengan muram.
“Sabar nduk. Persiapkan dengan matang
menjelang hari bahagiamu dengan Haris. Jangan capek-capek nduk,” tetuah ibuk
sambil tersenyum.
Milah mengangguk dan tersenyum.
Kemudian beranjak ke kamarnya.
***
ALHAMDULILLAH
WALAUPUN RUMITABLE TAPI DAPET PASANGAN YANG ISTRIABLE.
Aku tulis
kata-kata itu di tembok rumahku. Akhir yang bahagia…