Because I’m worrying about you
Buku-buku tersusun rapi
di rak berplitur coklat gelap. Ensiklopedi, majalah, prosa, novel, dan banyak
bacaan sarat makna berjejer di antaranya. Sang surya masih cukup terik dan
menyengat ubun-ubun. Tetapi di gedung berlantai 2 ini, sebuah perpustakaan kota
yang kian usang tergusur perpustakaan via network atau lazim disebut
perpustakaan online.
Sasky membuka lembaran
ke 46 prosa yang baru dibacanya kemarin sepulang mengikuti kursus memasak di
Jalan Hasanuddin. Sebuah prosa bersampul merah marun, dihiasi beberapa goresan
lukisan kanvas. Sasky masih tidak menoleh ke lingkungan sekitar. Baginya prosa-prosa
ini adalah lingkungannya.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Alzam.
From:
Alzam
Sayang, aku ini otw rumahmu
Sasky kaget. Ia sama
sekali tak menaruh janji dengan Alzam untuk bertemu di Minggu siang ini. Ia
menekuk bagian atas prosa yang tadi ia baca, takut kalau ada hembusan angin
yang menghilangkan jejak dimana ia terakhir membaca bait prosa, lalu segera
membalas pesan singkat Alzam.
To:
Alzam
Aku ini di perpus kota, gimana? Kamu
ndak ngomong dulu sayang
Sasky masih menatap
layar kaca ponselnya. Berharap Alzam akan segera membalas, dan membatalkan
untuk pergi ke rumah Sasky, menggantinya di lusa atau nanti malam. Namun Alzam
yang biasanya sejurus kemudian langsung membalas, 7 menit berlalu masih belum
ada getar atau nada dari ponsel Sasky.
Putus asa menanti
balasan pesan Alzam, Sasky mulai membuka prosanya. Ia kembali larut pada sebuah
prosa berjudul “Kidung Sang Dewi di ufuk Barat”. Sebuah prosa klasik yang tidak
diketahui penulisnya. Bait demi bait Sasky membaca dan sedikit mengkritisi titik
lemah pada prosa tua tersebut. Bukannya kurang kerjaan, tapi begitulah
rutinitas seorang mahasiswi Universitas Indonesia jurusan Sastra Indonesia,
yang setiap hari prosa, pantun, karya ilmiah, menjadi rutinitas. Sehingga tanpa
ia sadar, ponselnya bergetar lagi. Ia segera membuka pesan dari Alzam.
From:
Alzam
I’m in front of your house.
Sudah 8 menit yang lalu. Dengan terburu-buru Sasky
langsung membalas pesan Alzam.
To:
Alzam
Ha? Yaudah sabar aku 5 menit otw
Sasky segera
membereskan prosa yang tadi sedang ia baca, mengembalikannya ke rak buku. Dan
melesat menuju parkiran untuk mengambil motornya. Ia tancap gas dengan sangat
cepat. Berulang kali ia hampir menabrak orang. Jarak perpustakaan dengan
rumahnya cukup jauh, sekitar 4 km. biasanya ia butuh 15 menit untuk sampai di
tempat tujuan dengan kecepatan 80 km/jam. Pada akhirnya Sasky berhasil sampai
diwaktu 5 menit. Tapi Alzam sudah tidak ada di depan rumahnya. Ponselnya
tiba-tiba bergetar. 5 pesan dari Alzam.
From:
Alzam
Apa aku ke perpus jemput kamu aja?
From:
Alzam
Sayang, gimana?
From:
Alzam
Sayang, pelan-pelan aja, ndak usah
buru-buru, hati-hati, jangan ngebut ya
From:
Alzam
Lama ndak papa kok, kamu hati-hati
sayang
From:
Alzam
Aku ke dalam ya, disuruh mamamu
Sasky berlari menuju
ruang tamu. Disana ada Alzam yang duduk di sofa warna tosca,sambil meneguk
secangkir teh hangat bikinan mama.
“Maaf sayang, aku
telat” ucap Sasky sambil duduk di samping Alzam.
Alzam tersenyum lalu
memegang tangannya.
“Kok dingin tanganmu?
Kenapa?” tanya Alzam dengan perubahan posisi lebih condong kea rah Sasky.
“Aku naik kecepatan
120” ujar Sasky menunduk dan disertai rasa bersalah.
“Kan aku udah bilang,
pelan-pelan aja, aku ndak papa nunggu kamu Sas. Hati-hati, kamu gak papa kan
tapi?” Alzam panik dan memeriksa tangan, siku, lutut Sasky.
“Nggak papa kok Al, aku
Cuma khawatir kamu kepanasan” Sasky memeluk Alzam. Alzam membalas pelukan Sasky
sambil mengelus-elus rambutnya.
“Aku cowok sas, nggak
papa lagi. Aku juga khawatir kamu kenapa-napa dijalan”
Sarat makna, kalau biasanya seorang lelaki di depan rumah dan menanti. Ia akan sangat tidak sabar menunggu kekasihnya. Tapi tidak untuk Alzam. Menanti lebih baik daripada melihat kekasihnya terluka/mendapatkan hal-hal yang tidak diinginkan. What a great future husband he was :)