Senin, 20 April 2015

Dear Future Husband [1]



Because I’m worrying about you
Buku-buku tersusun rapi di rak berplitur coklat gelap. Ensiklopedi, majalah, prosa, novel, dan banyak bacaan sarat makna berjejer di antaranya. Sang surya masih cukup terik dan menyengat ubun-ubun. Tetapi di gedung berlantai 2 ini, sebuah perpustakaan kota yang kian usang tergusur perpustakaan via network atau lazim disebut perpustakaan online.
Sasky membuka lembaran ke 46 prosa yang baru dibacanya kemarin sepulang mengikuti kursus memasak di Jalan Hasanuddin. Sebuah prosa bersampul merah marun, dihiasi beberapa goresan lukisan kanvas. Sasky masih tidak menoleh ke lingkungan sekitar. Baginya prosa-prosa ini adalah lingkungannya.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Alzam.
From: Alzam
          Sayang, aku ini otw rumahmu
Sasky kaget. Ia sama sekali tak menaruh janji dengan Alzam untuk bertemu di Minggu siang ini. Ia menekuk bagian atas prosa yang tadi ia baca, takut kalau ada hembusan angin yang menghilangkan jejak dimana ia terakhir membaca bait prosa, lalu segera membalas pesan singkat Alzam.
To: Alzam
          Aku ini di perpus kota, gimana? Kamu ndak ngomong dulu sayang
Sasky masih menatap layar kaca ponselnya. Berharap Alzam akan segera membalas, dan membatalkan untuk pergi ke rumah Sasky, menggantinya di lusa atau nanti malam. Namun Alzam yang biasanya sejurus kemudian langsung membalas, 7 menit berlalu masih belum ada getar atau nada dari ponsel Sasky.
Putus asa menanti balasan pesan Alzam, Sasky mulai membuka prosanya. Ia kembali larut pada sebuah prosa berjudul “Kidung Sang Dewi di ufuk Barat”. Sebuah prosa klasik yang tidak diketahui penulisnya. Bait demi bait Sasky membaca dan sedikit mengkritisi titik lemah pada prosa tua tersebut. Bukannya kurang kerjaan, tapi begitulah rutinitas seorang mahasiswi Universitas Indonesia jurusan Sastra Indonesia, yang setiap hari prosa, pantun, karya ilmiah, menjadi rutinitas. Sehingga tanpa ia sadar, ponselnya bergetar lagi. Ia segera membuka pesan dari Alzam.
From: Alzam
          I’m in front of your house.
Sudah 8 menit yang lalu. Dengan terburu-buru Sasky langsung membalas pesan Alzam.
To: Alzam
          Ha? Yaudah sabar aku 5 menit otw
Sasky segera membereskan prosa yang tadi sedang ia baca, mengembalikannya ke rak buku. Dan melesat menuju parkiran untuk mengambil motornya. Ia tancap gas dengan sangat cepat. Berulang kali ia hampir menabrak orang. Jarak perpustakaan dengan rumahnya cukup jauh, sekitar 4 km. biasanya ia butuh 15 menit untuk sampai di tempat tujuan dengan kecepatan 80 km/jam. Pada akhirnya Sasky berhasil sampai diwaktu 5 menit. Tapi Alzam sudah tidak ada di depan rumahnya. Ponselnya tiba-tiba bergetar. 5 pesan dari Alzam.
From: Alzam
          Apa aku ke perpus jemput kamu aja?
From: Alzam
          Sayang, gimana?
From: Alzam
          Sayang, pelan-pelan aja, ndak usah buru-buru, hati-hati, jangan ngebut ya
From: Alzam
          Lama ndak papa kok, kamu hati-hati sayang
From: Alzam
          Aku ke dalam ya, disuruh mamamu
Sasky berlari menuju ruang tamu. Disana ada Alzam yang duduk di sofa warna tosca,sambil meneguk secangkir teh hangat bikinan mama.
“Maaf sayang, aku telat” ucap Sasky sambil duduk di samping Alzam.
Alzam tersenyum lalu memegang tangannya.
“Kok dingin tanganmu? Kenapa?” tanya Alzam dengan perubahan posisi lebih condong kea rah Sasky.
“Aku naik kecepatan 120” ujar Sasky menunduk dan disertai rasa bersalah.
“Kan aku udah bilang, pelan-pelan aja, aku ndak papa nunggu kamu Sas. Hati-hati, kamu gak papa kan tapi?” Alzam panik dan memeriksa tangan, siku, lutut Sasky.
“Nggak papa kok Al, aku Cuma khawatir kamu kepanasan” Sasky memeluk Alzam. Alzam membalas pelukan Sasky sambil mengelus-elus rambutnya.
“Aku cowok sas, nggak papa lagi. Aku juga khawatir kamu kenapa-napa dijalan”


Sarat makna, kalau biasanya seorang lelaki di depan rumah dan menanti. Ia akan sangat tidak sabar menunggu kekasihnya. Tapi tidak untuk Alzam. Menanti lebih baik daripada melihat kekasihnya terluka/mendapatkan hal-hal yang tidak diinginkan. What a great future husband he was :)